Benih-benih Diskriminasi
Hampir enam tahun saya tinggal di Eropa, serta semasa itu juga saya tidak sempat temu dengan keluarga di kampung. Beberapa waktu mendekati kepulanganku, setiap hari saya tetap pikirkan apakah yang dapat saya bagi pada keluarga, terutamanya mengenai pengalaman ku saat di Eropa.
Langkah Main Bettingan bola Online Waktu kembalinya itu datang, saya dijemput oleh keluarga besar ku. Mereka harus sewa mobil untuk sampai di lapangan terbang. Demikian sampai kami sama-sama berangkulan serta menangis terharu.
Tetapi mereka benar-benar tidak bertanya bagaimana pengembaraan ku saat di Eropa. Mereka bertambah pilih untuk memberi komentar warna kulit ku yang makin putih. Serta itu cukup untuk bikin mereka takjub serta bahagia.
Di warga kita, umum sekali berpandangan jika kulit putih ialah cantik serta kulit hitam ialah buruk. Jadi pandangan keluargaku akan kulit ku yang makin putih tidak jauh dari pandangan umum itu.
Pandangan keluarga ku ini dibantu oleh iklan-iklan produk kecantikan. Yang tetap menjelaskan "Kulit putih bersih, cemerlang tanpa ada bintik dan lain-lain... dan lain-lain..."
Tiga bulan di Indonesia, saya banyak lakukan perjalanan ke banyak daerah serta pulang ke kampung satu bulan sekali. Waktu pulang salah satunya keluarga ku memberi komentar dengan suara negatif.
"Kok saat ini kamu hitam sich" dengan suara penuh sinis. Waktu itu kulitku memang tidak seputih waktu saya barusan datang di tanah air serta nampak gelap. Saya tidak dapat pikirkan semacam apa bila mendadak saja saya menjadi kulit hitam seperti saudara ku yang di Papua. Kemungkinan saudaraku dapat berguling-guling menangis sedih.
Itu situasiku, di keluargaku.
Sedang di negeri ku, yang konon tuturnya semua masyarakat negara mempunyai tempat yang serupa di muka hukum, mempunyai narasi sendiri yang tidak jauh lain dengan ceritaku, perkembangan kulitku, serta keluargaku.
Di negeriku ini saya seringkali dengar tanggapan miring mengenai saudara ku Papua, yang berkulit hitam. Mirip contoh di salah satunya group WA, waktu epidemi korona, mereka ada yang bagikan gambar orang Papua menggunakan koteka serta menulis kata dalam gambar itu "Meskipun tanpa ada kolorna masih mengecek korona" dengan meme ketawa terpingkal-pingkal.
Lantas salah satunya anggota group WA itu ada yang menyikapi dengan meme ketawa terpingkal-pingkal. Buatku ini bukanlah guyonan tetapi pelecehan. Saya tidak dapat pikirkan bagaimana sakit hatinya saudaraku Papua terus-terusan alami penghinaan semacam ini.